Rencana Pola Ruang Kawasan Kabupaten Kulon Progo Provinsi D.I.Y
Kabupaten Kulonprogo merupakan salah satu kabupaten dari
lima kabupaten/kota di propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang terletak di
bagian barat. Ibukota kabupaten Kulonprogo adalah Wates dimana kabupaten ini
mempunyai luas wilayah 58.627,512 ha (586,28 km2), yang terdiri dari
12 kecamatan 87 desa, 1 kelurahan dan 917 dukuh.
Kabupaten Kulonprogo memiliki topografi yang bervariasi dari landai sampai berbukit-bergunung dengan ketinggian antara 0-1000 meter Dpal, yang terbagi menjadi 3 wilayah meliputi wilayah bagian utara, tengah, dan selatan. Curah hujan di Kulonprogo rata-rata per tahunnya mencapai 2.150 mm, dengan rata-rata hari hujan sebanyak 106 hari per tahun atau 9 hari per bulan dengan curah hujan tertinggi pada bulan Januari dan terendah pada bulan Agustus. Suhu terendahnya lebih kurang 24,2°C (Juli) dan tertinggi 25,4°C (April), dengan kelembaban terendah 78,6% (Agustus), serta tertinggi 85,9% (Januari). Intensitas penyinaran matahari rata-rata bulanan mencapai lebih kurang 45,5%, terendah 37,5% (Maret) dan tertinggi 52,5% (Juli).
Secara geomorfologis, kabupaten Kulonprogo didominasi oleh tiga bentuklahan asal utama yakni bentuklahan fluvial, denudasional, dan struktural. Bentuklahan denudasional dapat diidentifikasi dari seringnya terjadi proses erosi dan tanah longsor di daerah tersebut. Secara geologis, Kulonprogo terdiri dari empat formasi batuan yakni formasi andesit tua, formasi Jonggrangan, formasi Nanggulan, dan formasi Sentolo yang mana rata-rata berumur tersier (Bammelen, 1970).
Kabupaten Kulonprogo mempunyai permasalahan yang kompleks yakni seringnya terjadi bencana alam tanah longsor, erosi, dan banjir. Hal ini dipicu oleh konversi penggunaan lahan yang intensif dari kebun dan sawah ke permukiman. Pertumbuhan penduduk yang tinggi juga memicu perubahan penggunaan lahan dari kawasan lindung dirubah menjadi kawasan budidaya. Untuk itu perlu dilakukan pemetaan distribusi spasial mengenai peruntukan lahan dengan mengacu SK Menteri Pertanian No. 837/KPTS/UM/1980, dan perlu dilakukan tata ruang kawasan baik untuk budidaya maupun untuk kawasan lindung dengan cara membuat peta rencana pola ruang di kabupaten Kulonprogo.
Rencana pola ruang yang dilaksanakan di kabupaten Kulonprogo ini mengacu pada Peraturan Daerah Kabupaten Kulonprogo Nomor 1 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Daerah Tahun 2003-2013 dan juga mengacu pada Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 2 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2009-2029, dimana hasil dari analisis spasial diperoleh klasifikasi kawasan menjadi 2 bagian yakni kawasan budidaya seluas 184,56 km2 dan kawasan lindung seluas 397,9 km2. Ini berarti bahwa kawasan budidaya hanya mencakup 31,68% dari total wilayah kabupaten Kulonprogo, sedangkan kawasan lindung mencakup 68,31% total wilayah kabupaten Kulonprogo. Perbandingan yang relatif signifikan ini mengindikasikan bahwa perlu ada pembatasan perubahan penggunaan lahan mengingat bahwa kawasan budidaya sangat sedikit.
Kabupaten Kulonprogo memiliki topografi yang bervariasi dari landai sampai berbukit-bergunung dengan ketinggian antara 0-1000 meter Dpal, yang terbagi menjadi 3 wilayah meliputi wilayah bagian utara, tengah, dan selatan. Curah hujan di Kulonprogo rata-rata per tahunnya mencapai 2.150 mm, dengan rata-rata hari hujan sebanyak 106 hari per tahun atau 9 hari per bulan dengan curah hujan tertinggi pada bulan Januari dan terendah pada bulan Agustus. Suhu terendahnya lebih kurang 24,2°C (Juli) dan tertinggi 25,4°C (April), dengan kelembaban terendah 78,6% (Agustus), serta tertinggi 85,9% (Januari). Intensitas penyinaran matahari rata-rata bulanan mencapai lebih kurang 45,5%, terendah 37,5% (Maret) dan tertinggi 52,5% (Juli).
Secara geomorfologis, kabupaten Kulonprogo didominasi oleh tiga bentuklahan asal utama yakni bentuklahan fluvial, denudasional, dan struktural. Bentuklahan denudasional dapat diidentifikasi dari seringnya terjadi proses erosi dan tanah longsor di daerah tersebut. Secara geologis, Kulonprogo terdiri dari empat formasi batuan yakni formasi andesit tua, formasi Jonggrangan, formasi Nanggulan, dan formasi Sentolo yang mana rata-rata berumur tersier (Bammelen, 1970).
Kabupaten Kulonprogo mempunyai permasalahan yang kompleks yakni seringnya terjadi bencana alam tanah longsor, erosi, dan banjir. Hal ini dipicu oleh konversi penggunaan lahan yang intensif dari kebun dan sawah ke permukiman. Pertumbuhan penduduk yang tinggi juga memicu perubahan penggunaan lahan dari kawasan lindung dirubah menjadi kawasan budidaya. Untuk itu perlu dilakukan pemetaan distribusi spasial mengenai peruntukan lahan dengan mengacu SK Menteri Pertanian No. 837/KPTS/UM/1980, dan perlu dilakukan tata ruang kawasan baik untuk budidaya maupun untuk kawasan lindung dengan cara membuat peta rencana pola ruang di kabupaten Kulonprogo.
Rencana pola ruang yang dilaksanakan di kabupaten Kulonprogo ini mengacu pada Peraturan Daerah Kabupaten Kulonprogo Nomor 1 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Daerah Tahun 2003-2013 dan juga mengacu pada Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 2 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2009-2029, dimana hasil dari analisis spasial diperoleh klasifikasi kawasan menjadi 2 bagian yakni kawasan budidaya seluas 184,56 km2 dan kawasan lindung seluas 397,9 km2. Ini berarti bahwa kawasan budidaya hanya mencakup 31,68% dari total wilayah kabupaten Kulonprogo, sedangkan kawasan lindung mencakup 68,31% total wilayah kabupaten Kulonprogo. Perbandingan yang relatif signifikan ini mengindikasikan bahwa perlu ada pembatasan perubahan penggunaan lahan mengingat bahwa kawasan budidaya sangat sedikit.
Kawasan Lindung
Kawasan Lindung merupakan wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan. Kawasan lindung kabupaten Kulonprogo ini diperoleh dari peta arahan peruntukan lahan dengan mengacu pada SK Menteri Pertanian No.837/KPTS/UM/1980, dimana peta tersebut merupakan hasil overlay dari peta jenis tanah, peta curah hujan, dan peta kemiringan lereng. Kemudian peta arahan tersebut dikombinasi dengan peta lindung rawan bencana alam dan peta lindung setempat yang meliputi sempadan pantai dan sempadan sungai dengan mengacu pada peraturan daerah yang berlaku yakni Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 2 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2009-2029.
Kawasan lindung setidaknya mencakup 68,31% dari luas total wilayah kabupaten Kulonprogo. Dari 68% tersebut terbagi menjadi 7 kawasan lindung yang diantaranya adalah kawasan hutan lindung seluas 9,672402 km2 (2,43%), kawasan lindung rawan banjir seluas 41,960847 km2 (10,54%), kawasan lindung rawan longsor dan erosi seluas 180,0248 km2 (45,24%), kawasan lindung rawan tsunami seluas 26,602016 km2 (6,68%), kawasan lindung resapan air seluas 100,144366 km2 (25,16%), kawasan lindung sempadan pantai seluas 0,021388 km2 (0,005%), dan kawasan lindung sempadan sungai seluas 39,483748 km2 (9,92%). Kawasan lindung rawan longsor dan erosi sebagian besar mencakup wilayah kecamatan Kokap, Girimulyo, dan Samigaluh. Hal tersebut dikarenakan pada wilayah tersebut merupakan daerah pegunungan volkanik tua yang berumur tersier yang mana sudah banyak mengalami denudasi akibat tingginya intensitas perubahan penggunaan lahan oleh masyarakat setempat.
Kawasan lindung rawan tsunami pada umumnya mencakup wilayah pesisir yang meliputi kecamatan Wates, Temon, Panjatan, dan Galur. Hal tersebut dikarenakan pada wilayah tersebut dekat dengan pertemuan lempeng Eurasia dan lempeng Indo-Australia yang dapat memicu proses endogenik, ditambah dengan kemiringan lereng yang relatif datar sampai landai, sehingga sangat memungkin terjadi stunami. Untuk itu, pada wilayah tersebut ditetapkan sebagai wilayah lindung rawan stunami. Kawasan lindung rawan banjir pada umunya mencakup wilayah pada bentanglahan dataran aluvial yang juga meliputi wilayah kecamatan Wates, Temon, Panjatan, dan Galur, dimana Kecamatan Wates yang merupakan ibukota Kabupaten Kulonprogo menjadikannya sebagai daerah pusat pemerintahan dan pusat perekonomian, sehingga memacu pertumbuhan penduduk dan pertambahan permukiman, sehingga dengan sedikitnya drainase memungkinkan rawan terhadap banjir.
Wilayah yang difungsikan sebagai kawasan resapan air pada umumnya mencakup wilayah perbukitan seperti wilayah kecamatan Sentolo, Lendah, Nanggulan, dan Girimulyo. Wilayah yang berfungsi sebagai recharge area mempunyai arti penting dalam menyimpan air dari hasil proses presipitasi, pengaruh positif ataupun negatif dari daerah hulu tersebut berdampak pada wilayah yang berada dibawahnya, sehingga eksistensi dari wilayah recharge area perlu untuk dijaga.
Kawasan Budidaya
Kawasan
Budidaya merupakan wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudi
dayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan. Kawasan
budidaya kabupaten Kulonprogo diperoleh dari kombinasi antara peta arahan
peruntukan lahan dan peta lindung rawan bencana serta peta lindung setempat,
kemudian peta hasil kombinasi tersebut dikroscek dengan peta penggunaan lahan
eksisting, sehingga diperoleh peta kawasan budidaya. Kawasan budidaya
dikabupaten Kulonprogo terdiri dari kawasan budidaya perikanan seluas 3,155615
km2 (1,71%), kawasan budidaya perkebunan mencakup lahan seluas 50,562955
km2 (27,39%), kawasan budidaya permukiman mencakup lahan seluas 64,00737
km2 (34,68%), kawasan budidaya pertanian lahan basah mencakup lahan
seluas 38,629862 km2 (20,93%), dan kawasan budidaya pertanian lahan
kering mencakup lahan seluas 28,207536 km2 (15,28%).
Total luas kawasan budidaya dikabupaten Kulonprogo adalah 184,563338 km2 atau 31,68% dari luas total wilayah kabupaten Kulonprogo, dimana luas kawasan budidaya yang relatif kecil ini perlu adanya perencanaan penggunaan lahan dan tata guna lahan kembali untuk mengidentifikasi dan menganalisis kesesuaian lahan yang ada, sehingga keberlanjutan lingkungan abiotik, biotik, dan cultur dapat berlangsung dengan baik.
Pola Ruang Kawasan
Total luas kawasan budidaya dikabupaten Kulonprogo adalah 184,563338 km2 atau 31,68% dari luas total wilayah kabupaten Kulonprogo, dimana luas kawasan budidaya yang relatif kecil ini perlu adanya perencanaan penggunaan lahan dan tata guna lahan kembali untuk mengidentifikasi dan menganalisis kesesuaian lahan yang ada, sehingga keberlanjutan lingkungan abiotik, biotik, dan cultur dapat berlangsung dengan baik.
Pola Ruang Kawasan
Pola Ruang
merupakan distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi
peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budi
daya. Peta pola ruang kabupaten Kulonprogo diperoleh dari overlay antara peta
kawasan lindung dan peta kawasan budidaya, sehingga content dari peta pola ruang ini mencakup kedua peta tersebut. Dari
kombinasi kedua peta tersebut diperoleh 12 kawasan yang meliputi 5 kawasan
budidaya dan 7 kawasan lindung.
Menurut Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 2 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2009-2029 bahwa Penataan Ruang Daerah mempunyai sasaran untuk: 1) menetapkan aturan dan memberikan arahan pengelolaan kawasan lindung dan kawasan budidaya, pengembangan sistem permukiman, sistem prasarana dan sarana wilayah, serta kawasan strategis, 2) menetapkan aturan dan memberikan arahan kebijakan yang menyangkut tata guna tanah, tata guna air, tata guna udara, tata guna laut dan tata guna sumber daya alam lainnya serta kebijakan penunjang penataan ruang yang direncanakan, dan 3) menetapkan aturan dan memberikan arahan pemanfaatan ruang untuk mendukung pengutamaan kegiatan pendidikan, kebudayaan dan pariwisata. Terkait dengan Perda tersebut, bahwa perencanaan pola ruang kawasan penting untuk dilaksanakan dalam rangka penataan ruang sesuai dengan fungsi kawasan agar supaya kelestariannya tetap terjaga.
Karena pada prinsipnya perencanaan penggunaan lahan itu merupakan perencanaan yang mengatur jenis-jenis penggunaan lahan disuatu daerah agar dapat digunakan secara optimal, yaitu memberi hasil yang tertinggi dan tidak meruskkan tanahnya sendiri serta lingkungannya (Harjowigeno, 2011). Kelestarian lingkungan adalah sangat penting akan tetapi permintaan untuk kebutuhan lahan juga penting untuk dipenuhi karena masyarakat juga membutuhkan tempat tinggal dan mata pencaharian. Untuk itu strategi yang paling mendasar dalam rangka mengurangi tingkat resiko korban bencana alam atau menjaga kelestarian lingkungan adalah dengan cara membatasi pertumbuhan penduduk.
Menurut Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 2 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2009-2029 bahwa Penataan Ruang Daerah mempunyai sasaran untuk: 1) menetapkan aturan dan memberikan arahan pengelolaan kawasan lindung dan kawasan budidaya, pengembangan sistem permukiman, sistem prasarana dan sarana wilayah, serta kawasan strategis, 2) menetapkan aturan dan memberikan arahan kebijakan yang menyangkut tata guna tanah, tata guna air, tata guna udara, tata guna laut dan tata guna sumber daya alam lainnya serta kebijakan penunjang penataan ruang yang direncanakan, dan 3) menetapkan aturan dan memberikan arahan pemanfaatan ruang untuk mendukung pengutamaan kegiatan pendidikan, kebudayaan dan pariwisata. Terkait dengan Perda tersebut, bahwa perencanaan pola ruang kawasan penting untuk dilaksanakan dalam rangka penataan ruang sesuai dengan fungsi kawasan agar supaya kelestariannya tetap terjaga.
Karena pada prinsipnya perencanaan penggunaan lahan itu merupakan perencanaan yang mengatur jenis-jenis penggunaan lahan disuatu daerah agar dapat digunakan secara optimal, yaitu memberi hasil yang tertinggi dan tidak meruskkan tanahnya sendiri serta lingkungannya (Harjowigeno, 2011). Kelestarian lingkungan adalah sangat penting akan tetapi permintaan untuk kebutuhan lahan juga penting untuk dipenuhi karena masyarakat juga membutuhkan tempat tinggal dan mata pencaharian. Untuk itu strategi yang paling mendasar dalam rangka mengurangi tingkat resiko korban bencana alam atau menjaga kelestarian lingkungan adalah dengan cara membatasi pertumbuhan penduduk.
Pertumbuhan penduduk yang tinggi secara tidak
langsung memicu perubahan penggunaan lahan untuk permukiman, sehingga lahan
yang difungsikan untuk kawasan lindung diabaikan begitu saja. Sehingga
diharapkan dari usulan konsep ini, mampu menciptakan pola ruang kawasan yang
sesuai dengan peruntukannya dalam rangka mengimplementasikan ide
sustainabililtas, sehingga pada akhirnya mampu mengarah pada development goals
(MDGs). Untuk selengkapnya, silahkan Download Disini.
0 komentar:
Post a Comment