Memprioritaskan Kejujuran Ilmiah di Lingkungan Kampus
Masalah utama penyusunan tugas akhir kuliyah adalah minimnya
kejujuran ilmiah. Praktik plagiarisme dan manipulasi data penelitian hampir
membudaya di lingkungan kampus, terutama kalangan mahasiswa. Minimya minat baca
mahasiswa menjadi pemicu utama plagiasi.
Apalagi sekarang dengan adanya internet memudahkan akses
ilmu pengetahuan, menjadikan mahasiswa malas membaca buku teks dan lebih
memilih media tersebut. Ironisnya, hal tersebut tidak diimbangi dengan integritas
yang tinggi, akibatnya budaya copy
paste menjadi suatu kebiasaan. Tanpa mereka sadari, mereka telah
melakukan plagiasi, sehingga budaya plagiarisme hampir mengakar di kalangan
mahasiswa.
Selain plagirisme, praktik manipulasi data penelitian juga
merupakan pembohongan ilmiah. Biasanya praktik ini dilakukan saat penyusunan
tugas akhir (skripsi, tesis, dan disertasi). Faktor pemicunya adalah tuntutan
pembuktian hipotesis dalam penelitian. Karena hipotesis tidak terbukti, maka mereka
memilih shortcut memanipulasi data supaya hipotesis bisa terbukti.
Praktik tersebut sebenarnya bisa dihindari apabila dilandasi dengan dasar yang
kuat dan logis mengapa hipotesisnya tidak terbukti.
Penyusunan karya tulis ilmiah biasanya mengacu pada
perguruan tinggi yang ditempati, karena setiap perguruan tinggi mempunyai
pedoman penulisan sendiri-sendiri. Namun, pada umumnya sesuai standar penulisan
Bahasa Indonesia baku dan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD).
Kesalahan penulisan yang sering dijumpai adalah tata cara
pengutipan. Mengutip sebuah kalimat diperbolehkan dalam menyusun karya ilmiah, asalkan
sesuai kode etik ilmiah. Pengutipan kalimat tentu ada aturannya, tidak asal-asalan.
Untuk itu, sebelum kita semua terjebak
kasus plagiarisme, perlu adanya perbaikan tata cara pengutipan.
Plagiarisme dan manipulasi data penelitian sebenarnya bisa
dihindari apabila kita rajin membaca dan menulis serta rajin berdiskusi dengan
teman atau dosen, dengan begitu kita akan kaya wawasan dan pengetahuan. Memang
dalam menyusun karya ilmiah tidak mudah, selain penulisannya harus benar,
substansi didalamnya juga harus benar, dimana antar bab saling berkaitan sehingga
harus sinkron.
Terkadang mahasiswa lebih memilih karya ilmiahnya tebal
sampai beratus-ratus halaman dari pada yang tipis. Stigma seperti itu sebaiknya
jauh-jauh hari dihilangkan karena kualitas karya ilmiah tidak di nilai dari jumlah
halamannya, akan tetapi dari substansi di dalamnya. Einstein – penemu nuklir –
disertasinya hanya dua belas halaman, akan tetapi temuannya sampai sekarang
masih digunakan oleh semua orang.
Perubahan dapat terwujud apabila dimulai dari kita sendiri,
kemudian baru orang lain, dan pada akhirnya untuk bangsa ini. Mungkin kasus
plagiarisme ini hanya sebatas kasus civitas akademika, namun pengaruhnya bisa
mencapai global, karena semua ilmu atau teknologi dimuali dengan penelitian,
kemudian dilanjutkan untuk terapannya di masyarakat.
Pada prinsipnya karya tulis ilmiah itu yang tahu adalah
penulisnya sendiri. Dosen hanya sebatas membimbing dan mengarahkan, sehingga
dosen tidak seratus persen tahu mengenai substansi karya ilmiah tersebut. Ini
yang menjadi tantangan bagi para mahasiswa, apakah ingin jujur ataukah tidak
dalam menyusun karya ilmiah?. Kesadaran yang tinggi perlu di tanam sejak dini
untuk merealisasikan hal tersebut.