Urgensi Pendidikan Karakter
Tingginya intensitas tindak kriminal para pelajar di negeri
ini, telah banyak menyita perhatian publik dan selalu menjadi bahasan topik
utama dalam kajian psikologi. Merebaknya aksi kekerasan antar pelajar,
tingginya intensitas kejahatan, dan aksi seksual yang merajalela dipicu oleh
minimnya moralitas pelajar. Seperti yang terjadi di Jabodetabek belum lama ini,
dimana sejumlah tawuran antar pelajar berangsur-angsur meningkat.
Tercatat jumlah bentrokan antar pelajar pada tahun 2009
sebanyak 11 kali, pada tahun 2010 sebanyak 28 kali, dan pada tahun 2011
sebanyak 31 kali (Kompas, 27/9/2012). Lebih lanjut dilaporkan bahwa
korban jiwa yang melayang akibat tawuran antar pelajar pada tahun 2012 ini sebanyak
13 jiwa. Hal tersebut dirasa sangat aprehensif, karena semakin bertambahnya tahun,
semakin banyak memakan korban.
Pihak sekolah yang selalu menjadi bulan-bulanan dipersalahkan
oleh publik karena tidak bisa mencegah aksi tawuran antar pelajar. Mungkin
bukan pihak sekolah saja, pihak orang tua murid juga dipersangkut-pautkan.
Lalu, kemanakah pihak keamanan negara? kenapa dibiarkan bentrok sampai berujung
maut? karena jarang diketemukan aksi tawuran didaerah hutan, kebanyakan berada
ditengah kota yang banyak orang berlalu-lalang. Mustahil jika pihak keamanan
tidak melihat aksi tersebut. Mungkin butuh kesiapsiagaan yang ekstra untuk
realisasi tindakan preventif.
Sejauh ini belum diketemukan akar rumput permasalahan,
apakah motif rival ataukah adanya motif balas dendam, namun kebanyakan
merupakan pencarian identitas diri, keinginan untuk lebih diperhatikan oleh
pihak tertentu. Tak heran jika seusia para pelajar, cenderung mengikuti trend
yang sedang beredar dan kebanyakan mereka berkomunal. Mungkin bisa dikatakan “anut
gubyuk, ora ngerti rembuk”. Alasan klasiknya adalah apabila tidak mengikuti
teman-temannya yang menjadi trend saat ini, maka ia akan dianggap jadul,
kolot, tidak gaul, dan lain sebagainya. Alhasil, moralitas-pun dipersingkirkan,
lebih diprioritaskan nafsu belaka.
Perlunya apresiasi yang tinggi terhadap peran guru, karena selama
ini guru dipandang sebelah mata. Sebab, guru tidak hanya mengajar, tetapi juga
membimbing. Honor-pun jumlahnya tidak seberapa dibanding kerja kerasnya.
Responsibilitas kerja tidak hanya terdapat disekolah tetapi juga dibawa sampai
kerumah. Terkadang kita lupa betapa besar kontribusi guru untuk mencerdaskan
anak bangsa, sehingga dia dikenal sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Akan
sangat disesalkan jika aksi bentrok pelajar hanya dipusatkan oleh kelalaian
guru yang tidak bisa mengontrol kegiatan siswanya.
Kendatipun demikian faktanya, kepala sekolah diberhentikan
begitu saja, tanpa dimintai keterangan atas ketelodarannya, mungkin sudah
berupaya semaksimal untuk tindakan preventif, namun lagi-lagi bentrok terulang
kembali. Bagaimana peran keamanan sekolah yang selama ini sebagai tumpuan
tanggung jawabnya? lalu bagaimana peran guru bimbingan konseling (BK) yang
setiap saat mendisiplinkan siswa?. Semuanya tidak pantas untuk dipersalahkan
atau saling menyalahkan satu sama lain, mungkin hanya dapat disesalkan atas
kinerjanya yang kurang maksimal.
Perlunya reorganisir tata tertib sekolah dan peninjauan
ulang terhadap kurikulum yang berlaku. Ini bersifat urgen, tidak boleh tidak.
Sebagai bentuk kesadaran dan penyadaran terhadap kasus yang menimpa. Mungkin
diperlukan sanksi yang tegas terhadap tindak kriminal apa saja sebagai wujud aktualisasi
kedisiplinan supaya mereka merasa jera. Namun hal itu mustahil untuk
diaplikasikan tanpa adanya kolaborasi pihak sekolah dan pihak orang tua.
Sehingga orang tua murid dalam hal ini harus responsif dan diharapkan tidak
mencemaskan kondisi sekolah, karena tidak ada sekolah dinegeri ini yang
mencetak anaknya menjadi preman.
Saya sependapat dengan tajuk rencana Suara Merdeka (29/9/2012) yakni perlu tindakan tegas yang riil,
tidak sekedar konsep dan teori yang muluk-muluk. Perlunya tindakan over-protektif dan
full-control terhadap pelajar memang dirasa sangat urgent. Wacana mengenai akan
diadakannya perubahan kurikulum oleh menteri pendidikan, saya kira itu tidak
mengenai substansi masalah, dan pemborosan anggaran Negara. Toh pada akhirnya
memusingkan para guru, karena seringnya pergantian kurikulum.
Para pelajar sayogyanya harus malu dan tahu diri akan
tingkahnya yang kelewatan. Tak pantas rasanya sebagai pelajar terlibat dalam
kasus yang tidak sepatutnya diperbuat. Apa kata dunia nantinya seandainya para
pelajar dinegeri ini dicap sebagai trouble maker? bukan merupakan
tugasnya sebagai pelajar berbuat demikian. Alangkah baiknya jika saat-saat
menyandang gelar sebagai pelajar diisi dengan ketekunan dan perolehan segudang
prestasi? mungkin akan terukir indah dan membekas dalam catatan sejarah
hidupnya.
Dari kasus ini mungkin bisa diambil hikmahnya dan sebagai
pelajaran dimasa yang akan datang. Karena pelajar yang mepunyai integritas yang
tinggi yang bisa menyadari akan kekhilafannya dan mampun mereformasi
moralitasnya. Masih banyak waktu untuk berubah sebelum terlambat. Jadikan
momentum ini sebagai catatan sejarah terburuk dalam kehidupan, agar tidak terulang
kembali kesalahan yang serupa.