Urgensi Pengurangan Risiko Bencana

Bencana alam merupakan fenomena alam yang bersifat destruktif terhadap sendi-sendi kehidupan. Bencana tersebut sering mengakibatkan timbulnya korban jiwa, kerusakan lingkungan, dan kerugian harta benda. Wilayah Indonesia memiliki kondisi geografis dan geologis yang berpotensi bencana, baik disebabkan faktor alam maupun faktor manusia.

Menurut Sutikno (2007) Indonesia termasuk wilayah rentan berbagai bencana seperti erupsi gunungapi, gempabumi, dan tsunami, sebab Indonesia terletak di zona subduksi antara tiga lempeng tektonik (lempeng Eurasia, India-Australia, dan Pasifik), antara dua samudra (samudra Hindia dan Pasifik), dan antara dua benua (benua Australia dan Asia). Selain itu, kondisi topografi yang bergunung-gunung dan jumlah curah hujan yang relatif tinggi turut berkontribusi terhadap kejadian bencana.

Selain faktor alam, faktor manusia juga menyumbang terhadap kejadian bencana. Aktivitas masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya alam sering tidak memperhatikan kondisi lingkungan, namun lebih ke ekonomi. Misalnya pembangunan kompleks perumahan dan infrastruktur di lereng terjal, banyak yang belum di audit lingkungan, akibatnya memicu bencana longsor. Perencanaa tata ruang kota juga sering kurang maksimal, sehingga memicu banjir.

Berdasarkan data yang dihimpun Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB, 2012) tercatat bahwa kejadian bencana di Indonesia pada tahun 2009 terdapat 1.287 kejadian, tahun 2010 terdapat 1.999 kejadian, tahun 2011 terdapat 1.663 kejadian, dan tahun 2012 terdapat 730 kejadian. Hal tersebut mengindikasikan intensitas kejadian bencana di Indonesia mengalami fluktuasi, walaupun tahun 2010-2012 tingkat kejadian bencana semakin menurun.

Adapun dampak bencana di Indonesia tahun 2012 adalah 487 jiwa meninggal, 675.798 jiwa mengungsi/menderita, dan 33.847 rumah rusak (BNPB, 2012). Angka korban jiwa dan kerusakan yang cukup besar tersebut mengindikasikan upaya penanggulangan bencana dan pengurangan risiko belum berjalan optimal. Untuk itu, perlu adanya strategi dan implementasi mitigasi bencana secara efektif guna mereduksi angka korban.

Penanggulangan bencana merupakan serangkaian upaya meliputi penetapan kebijakan pembangunan berisiko bencana, pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi. Adapun tujuan penanggulangan bencana memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman bencana. Menurut Undang Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, penanggulangan bencana terdiri atas tiga tahap yakni pra bencana, tanggap darurat, dan pasca bencana.

Dalam penanggulangan bencana alam, tidak serta merta dapat dilakukan secara instan, namun, diperlukan adanya tahapan-tahapan yang terstruktur dan terorganisir. Tahapan tersebut penting dalam rangka mereduksi angka korban dan perencaan fungsi kawasan. Sehingga, dari tahapan tersebut ekspektasinya angka risiko korban jiwa dan harta benda dapat ditekan sekecil mungkin.

Pengurangan risiko bencana kini mengalami pergeseran paradigma dari paradigma konvensional ke holistik. Masyarakat dahulu beranggapan bencana merupakan takdir, sehingga mereka hanya pasrah ketika terjadi bencana. Paradigma tersebut saat ini dinilai irrelevan, namun, masih tetap mengakar di masyarakat, akibatnya korban bencana masih tetap ada. Saat ini pengurangan risiko sudah berkembang menjadi paradigma holistik, yang mana didalamnya mencakup analisis, penaksiran, dan pengelolaan risiko bencana.

Pengurangan risiko bencana bertujuan untuk mengurangi angka korban dampak bencana, terutama dilakukan pra bencana. Hal paling mendasar yang perlu dilakukan untuk mengurangi risiko bencana adalah penyediaan informasi spasial. Informasi ini berupa peta indeks bahaya dan indeks risiko bencana. Sebab, kejadian bencana masa lampau dan saat ini merupakan kunci untuk memprediksi kejadian bencana di masa yang akan datang (Panizza, 1996). Bencana yang pernah terjadi di suatu daerah memungkinkan akan terjadi lagi di masa yang akan datang, walaupun intensitasnya berbeda, sehingga eksistensi peta indeks tersebut sangat penting.

Kedua peta tersebut dapat memberi informasi distrbusi daerah rawan bencana, namun, kapasitasnya sampai saat ini masih terbatas pada skala regional, sehingga informasi yang disajikan hanya bersifat global. Oleh karena itu, perlu adanya peta skala besar yang mencakup berbagai informasi secara detail.

Dengan adanya informasi spasial skala detail tersebut, diharapkan mampu memberikan informasi rinci kepada masyarakat dan pemerintah mengenai daerah rawan bencana. Sehingga, diharapkan pemerintah dalam merencanakan suatu kawasan didasarkan informasi spasial tersebut untuk meminimalisir risiko bencana, dan diharapkan masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana selalu siap siaga terhadap ancaman bencana. Oleh karena itu, sinergisme antara pemerintah dan masyarakat merupakan ujung tombak dalam upaya mereduksi risiko bencana alam.