Optimalisasi Pengelolaan DAS Garang
Daerah Aliran Sungai
(DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang dibatasi oleh igir topografi yang
berfungsi menerima, menyimpan, dan mengalirkan air, sedimen, dan unsur hara dan
mengeluarkannya melalui outlet tunggal (Seyhan, 1977). Eksistensi DAS sangat
penting dalam kehidupan, dimana hubungan antara daerah hulu, tengah, dan hilir
saling mempengaruhi. Akhir-akhir ini timbul kekhawatiran semakin
meningkatnya kerusakan berbagai daerah aliran sungai (DAS) di Indonesia, tak
terkecuali di DAS Garang. Menurut Liesnoor (2009) diantara masalah yang cukup
dianggap mendesak dan perlu penanggulangan serius adalah semakin kritisnya
keadaan tata air dan lingkungan sungai yang ditandai dengan semakin besarnya
angka rasio antara debit maksimum pada musim hujan dengan debit minimum pada
musim kemarau, serta semakin mundurnya nilai produktivitas lahan terutama pada
DAS bagian hulu.
Problematika
Problematika
Pertumbuhan penduduk
di kota-kota besar selalu meningkat angkanya dari tahun-ketahun, tak terkecuali
di kota Semarang. Hal tersebut mempunyai konsekuensi terhadap peningkatan
kebutuhan hidup baik sandang, pangan, dan papan. Akibatnya, pemenuhan tempat
tinggal menjadi semakin meningkat, yang mengharuskan membuka lahan untuk
permukiman. Suroso (2005) melaporkan bahwa perubahan penggunaan lahan yang
terjadi di DAS Garang mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap debit aliran,
dalam hal ini terjadi peningkatan debit aliran di DAS Garang setelah adanya
perubahan penggunaan lahan yang terjadi selama tahun 1993-2000.
Kota Semarang yang notabene sebagai pusat industri dan perdagangan di Jawa Tengah memberikan sumbangsih terhadap kemajuan perekonomian. Namunn demikian, aktivitas tersebut berpengaruh negatif terhadap kondisi lingkungan, akibatnya degradasi lingkungan di daerah tersebut tidak dapat terhindarkan. Marfai et al. (2008) melaporkan bahwa amblesan tanah yang terjadi akibat pengaruh aktivitas masyarakat, telah mengakibatkan banjir rob setiap tahun di pesisir kota Semarang. Daerah pesisir kota Semarang dalam hal ini merupakan wilayah DAS Garang hilir. Cahyaningsih dkk., (2003) menambahkan bahwa DAS Garang merupakan daerah yang sering mengalami banjir terutama disekitar pertemuan tiga sungai besar yaitu Sungai Garang, Sungai Kripik, dan Sungai Kreo.
Suharini dan Hariyanto (2008) melaporkan bahwa tanah longsor sering terjadi di Kota Semarang terutama pada Formasi Kalibeng, faktor yang memicu terjadinya tanah longsor diantaranya adalah kerusakan DAS, perubahan penggunaan lahan, struktur geologi, kemiringan lereng, curah hujan yang tinggi, sifat fisik tanah, dan sistem drainase yang buruk. Formasi Kalibeng merupakan wilayah yang terdapat pada DAS Garang bagian tengah.
Kota Semarang yang notabene sebagai pusat industri dan perdagangan di Jawa Tengah memberikan sumbangsih terhadap kemajuan perekonomian. Namunn demikian, aktivitas tersebut berpengaruh negatif terhadap kondisi lingkungan, akibatnya degradasi lingkungan di daerah tersebut tidak dapat terhindarkan. Marfai et al. (2008) melaporkan bahwa amblesan tanah yang terjadi akibat pengaruh aktivitas masyarakat, telah mengakibatkan banjir rob setiap tahun di pesisir kota Semarang. Daerah pesisir kota Semarang dalam hal ini merupakan wilayah DAS Garang hilir. Cahyaningsih dkk., (2003) menambahkan bahwa DAS Garang merupakan daerah yang sering mengalami banjir terutama disekitar pertemuan tiga sungai besar yaitu Sungai Garang, Sungai Kripik, dan Sungai Kreo.
Suharini dan Hariyanto (2008) melaporkan bahwa tanah longsor sering terjadi di Kota Semarang terutama pada Formasi Kalibeng, faktor yang memicu terjadinya tanah longsor diantaranya adalah kerusakan DAS, perubahan penggunaan lahan, struktur geologi, kemiringan lereng, curah hujan yang tinggi, sifat fisik tanah, dan sistem drainase yang buruk. Formasi Kalibeng merupakan wilayah yang terdapat pada DAS Garang bagian tengah.
Karakteristik Fisik
DAS Garang terletak
di Provinsi Jawa Tengah dan secara administratif terletak di tiga
kabupaten/kota yakni Kabupaten Kendal, Kabupaten Semarang dan Kota Semarang.
Berdasarkan Peta DAS Garang yang dikeluarkan oleh BPDAS Pemali Jratun, DAS
Garang terletak pada posisi 6° 57’ 0” LS – 7° 8’ 0” LS dan 110° 18’ 30” BT –
110° 29’ 30” BT. Berdasarkan analisis spasial, luas seluruh DAS Garang adalah 213,2413568
km2, dan terbagi menjadi empat sub DAS antara lain Sub DAS Kripik
seluas 36,37530004 km2, Sub DAS Garang Hulu seluas 83,79817466 km2,
sub DAS Kreo seluas 68,94187552 km2, dan Sub DAS Garang Hilir seluas
24,12600657 km2.
DAS Garang termasuk dalam wilayah dengan iklim tropis dan bertemperatur sedang, dimana suhu udara rata-rata adalah 29°C dan curah hujan rata-rata adalah 1.669,121 mm/tahun (Marlena, 2012). DAS Garang mempunyai tipe iklim basah sampai agak basah, hal tersebut ditentukan dari jumlah curah hujan bulanan rerata DAS Garang tahun 1980-2000 dan dihitung dengan menggunakan metode Schmidt and Ferguson; berdasarkan besarnya nilai Q yang diperoleh yakni antara 0 – 0,25 (Suroso, 2005). Kondisi topografi di wilayah DAS Garang cukup beranekaragam, dari datar, berombak, bergelombang, berbukit sampai bergunung (BPDAS Pemali Jratun, 2009). Elevasi DAS Garang mencapai 1.900 meter DPAL, yakni berada di puncak Gunung Ungaran, dan elevasi terendah terdapat pada muara Sungai Garang yang terletak di wilayah Kecamatan Semarang Barat.
Menurut Suroso (2005) DAS Garang secara geomorfologis dibedakan menjadi 5 satuan bentuklahan utama, antara lain: (i) bentuklahan asal volkanis, (ii) bentuklahan asal struktural, (iii) bentuklahan asal denudasional, (iv) bentuklahan asal fluvial, (vi) bentuklahan asal marin. Proses terbentuknya tanah dipengaruhi oleh faktor bahan induk, iklim, waktu, mikro organisme, dan lereng; atau S = f (C.O.P.R.T). Jenis tanah yang terdapat di DAS Garang bervariasi menurut faktor diatas yang mempengaruhinya. Menurut BPDAS Pemali Jratun (2007) jenis tanah di DAS Garang adalah (i) aluvial, (ii) grumusol, (iii) latosol, (iv) mediteran, dan (v) regosol.
Berdasarkan identifikasi sungai yang terdapat pada Peta DAS Garang, dapat diketahui bahwa pola aliran sungai di DAS Garang terbagi menjadi dua tipe yaitu pada bagian hulu dan tengah DAS berpola denditric, dimana alur sungai dari segala arah mengumpul menjadi satu aliran, sedangkan pada bagian hilir DAS berpola rectangular, yakni alur sungai berpola tidak teratur. Berdasarkan kondisi limpasan, DAS Garang mempunyai dua tipe limpasan yakni pada bagian hulu DAS bertipe aliran intermitten, dimana aliran sungai mengalir pada saat musim hujan saja, sedangkan pada bagian tengah dan hilir DAS bertipe parennial, yakni air sungai mengalir sepanjang tahun. Hasil interpretasi Citra Landsat TM skala 1:250.000, foto udara skala 1:20.000, dan Peta Rupa Bumi skala 1:25.000 yang telah dilakukan oleh Suroso (2005) menghasilkan klasifikasi tujuh jenis penggunaan lahan di DAS Garang, antara lain sebagai berikut: (i) sawah, (ii) tegalan, (iii) permukiman, (iv) hutan, (v) kebun campuran, (vi) lahan kosong, dan (vii) tambak.
Potensi DAS Garang
DAS Garang termasuk dalam wilayah dengan iklim tropis dan bertemperatur sedang, dimana suhu udara rata-rata adalah 29°C dan curah hujan rata-rata adalah 1.669,121 mm/tahun (Marlena, 2012). DAS Garang mempunyai tipe iklim basah sampai agak basah, hal tersebut ditentukan dari jumlah curah hujan bulanan rerata DAS Garang tahun 1980-2000 dan dihitung dengan menggunakan metode Schmidt and Ferguson; berdasarkan besarnya nilai Q yang diperoleh yakni antara 0 – 0,25 (Suroso, 2005). Kondisi topografi di wilayah DAS Garang cukup beranekaragam, dari datar, berombak, bergelombang, berbukit sampai bergunung (BPDAS Pemali Jratun, 2009). Elevasi DAS Garang mencapai 1.900 meter DPAL, yakni berada di puncak Gunung Ungaran, dan elevasi terendah terdapat pada muara Sungai Garang yang terletak di wilayah Kecamatan Semarang Barat.
Menurut Suroso (2005) DAS Garang secara geomorfologis dibedakan menjadi 5 satuan bentuklahan utama, antara lain: (i) bentuklahan asal volkanis, (ii) bentuklahan asal struktural, (iii) bentuklahan asal denudasional, (iv) bentuklahan asal fluvial, (vi) bentuklahan asal marin. Proses terbentuknya tanah dipengaruhi oleh faktor bahan induk, iklim, waktu, mikro organisme, dan lereng; atau S = f (C.O.P.R.T). Jenis tanah yang terdapat di DAS Garang bervariasi menurut faktor diatas yang mempengaruhinya. Menurut BPDAS Pemali Jratun (2007) jenis tanah di DAS Garang adalah (i) aluvial, (ii) grumusol, (iii) latosol, (iv) mediteran, dan (v) regosol.
Berdasarkan identifikasi sungai yang terdapat pada Peta DAS Garang, dapat diketahui bahwa pola aliran sungai di DAS Garang terbagi menjadi dua tipe yaitu pada bagian hulu dan tengah DAS berpola denditric, dimana alur sungai dari segala arah mengumpul menjadi satu aliran, sedangkan pada bagian hilir DAS berpola rectangular, yakni alur sungai berpola tidak teratur. Berdasarkan kondisi limpasan, DAS Garang mempunyai dua tipe limpasan yakni pada bagian hulu DAS bertipe aliran intermitten, dimana aliran sungai mengalir pada saat musim hujan saja, sedangkan pada bagian tengah dan hilir DAS bertipe parennial, yakni air sungai mengalir sepanjang tahun. Hasil interpretasi Citra Landsat TM skala 1:250.000, foto udara skala 1:20.000, dan Peta Rupa Bumi skala 1:25.000 yang telah dilakukan oleh Suroso (2005) menghasilkan klasifikasi tujuh jenis penggunaan lahan di DAS Garang, antara lain sebagai berikut: (i) sawah, (ii) tegalan, (iii) permukiman, (iv) hutan, (v) kebun campuran, (vi) lahan kosong, dan (vii) tambak.
Potensi DAS Garang
Potensi sumberdaya
yang terdapat di DAS Garang bervariasi, yakni meliputi sumberdaya hutan,
sumberdaya lahan, sumberdaya air dan sumberdaya manusia. Sumberdaya hutan di
DAS Garang mencakup lahan seluas 22,25 km2 atau 9,86% dari luas
seluruh DAS, artinya bahwa masih banyak terdapat daerah resapan air untuk
daerah hulu DAS. Kondisi hutan di DAS Garang mempunyai vegetasi tutupan dan
strata tajuk yang baik, dan berfungsi sebagai hutan produksi maupun hutan
lindung (Suroso, 2005). Selain itu, hasil dari sumberdaya hutan dapat
dimanfaatkan produknya untuk mencukupi kebutuhan untuk pembangunan atau untuk
eksport, dan pada akhirnya dapat meningkatkan PAD. Adapun sumberdaya lahan di
DAS Garang sangat melimpah, hal tersebut dilihat dari eksistensi jenis tanah
aluvial, yakni mencakup lahan seluas 1.197,91 hektar atau 2,81 % dari luas DAS.
Tanah yang relatif subur tersebut dari endapan sungai dapat dimanfaatkan untuk
produksi pertanian lahan basah. Selain itu di DAS Garang juga terdapat lahan
kosong, walaupun luasnya sangat sedikit yakni mencakup lahan seluas 3,38 km2
(1,50%), dapat dimanfaatkan untuk berbagai penggunaan lahan.
Adapun sumberdaya air di DAS Garang nampak dari sungai pada daerah tengah dan hulu bertipe parenial, yang mana selalu mengalir sepanjang tahun, dan dapat dimanfaatkan untuk irigasi pertanian, industri dan tambak. Adapun sumberdaya air tanah, potensinya sangat tinggi pada daerah hulu dan tengah DAS, namun pada daerah hilir kebanyakan air tanah sundah mengalami intrusi air laut akibat penurapan dari aktivitas industri dan domestik. Adapun sumberdaya manusia di DAS Garang sudah maju, hal tersebut diidentifikasi dari pengelolaan DAS yang sudah mulai maju. Selain itu eksistensi DAS Garang yang terdapat di pusat kota, sehingga banyak dijumpai berbagai fasilitas pendidikan dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Selain potensi-potensi sumberdaya yang dikemukakan dimuka, DAS Garang juga mempunyai potensi perekonomian yang cukup besar, hal tersebut dikarenakan DAS Garang terletak di pusat kota, dimana aktivitas perdagangan, perindustrian, dan pariwisata yang tinggi. Tak heran ketika DAS Garang mengalami permasalahan, selalu menjadi sorotan oleh pihak luar negeri, dan biasanya mereka akan memberikan bantuan dana untuk merehabilitasi DAS.
Optimalisasi Pengelolaan DAS
Adapun sumberdaya air di DAS Garang nampak dari sungai pada daerah tengah dan hulu bertipe parenial, yang mana selalu mengalir sepanjang tahun, dan dapat dimanfaatkan untuk irigasi pertanian, industri dan tambak. Adapun sumberdaya air tanah, potensinya sangat tinggi pada daerah hulu dan tengah DAS, namun pada daerah hilir kebanyakan air tanah sundah mengalami intrusi air laut akibat penurapan dari aktivitas industri dan domestik. Adapun sumberdaya manusia di DAS Garang sudah maju, hal tersebut diidentifikasi dari pengelolaan DAS yang sudah mulai maju. Selain itu eksistensi DAS Garang yang terdapat di pusat kota, sehingga banyak dijumpai berbagai fasilitas pendidikan dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Selain potensi-potensi sumberdaya yang dikemukakan dimuka, DAS Garang juga mempunyai potensi perekonomian yang cukup besar, hal tersebut dikarenakan DAS Garang terletak di pusat kota, dimana aktivitas perdagangan, perindustrian, dan pariwisata yang tinggi. Tak heran ketika DAS Garang mengalami permasalahan, selalu menjadi sorotan oleh pihak luar negeri, dan biasanya mereka akan memberikan bantuan dana untuk merehabilitasi DAS.
Optimalisasi Pengelolaan DAS
DAS Garang memiliki peranan
yang cukup penting dan strategis karena melewati Kota Semarang sebagai kota
besar yang memiliki aktivitas bisnis yang cukup tinggi. Oleh karena itu, untuk
mewujudkan kesinambungan fungsi tersebut, salah satunya diperlukan sistem
pengelolaan sumber daya air yang terpadu dan sinergi (Ginting, 2009). Sementara
itu, apabila dalam praktek pengelolaan DAS dan penerapan tata guna lahan yang
tidak dilakukan secara terpadu dan tidak terencana dengan baik, maka dapat mempengaruhi
proses terjadinya erosi dan sedimentasi.
Perubahan penggunaan lahan harus dilakukan secara optimal dengan melakukan perencaaan. Keputusan melakukan pembukaan lahan diawali dengan perhitungan ekonomi untuk memperoleh keuntungan, biasanya faktor dampak lingkungan agak diabaikan. Masyarakat biasanya untuk keperluan tertentu yang mendesak kurang memperhatikan faktor dampak lingkungan, faktor nilai ekonomi lebih diutamakan. Berdasarkan hal tersebut maka dalam melakukan perubahan terhadap alam ini perlu adanya keterpaduan dua kepentingan tersebut, yaitu aspek fisik dan non fisik (Liesnoor, 2009). Atas dasar hal-hal tersebut perlu upaya penanganan DAS secara intensif dan terpadu melalui upaya pengelolaan DAS yang bijak. Karena pada prinsipnya, pengelolaan DAS bertujuan membina kelestarian dan keserasian serta meningkatkan kemanfaatan sumber daya alam pada umumnya dan keadaan tata air khususnya.
Perlunya tindakan konservasi tanah pada daerah yang berada pada kelas 3, 4, dan 5 tingkat bahaya erosi. Dalam hal ini, tindakan konservasi disesuaikan dengan kondisi fisik setempat, sehingga apakah perlu dikonservasi vegetatif, teknik, maupun pembuatan teras. Sehingga dari upaya tersebut diharapkan dapat meminimalisir besarnya tingkat erosi tanah di daerah hulu, dan dapat mengurangi besarnya sedimentasi di daerah hilir DAS. Karena salah satu pemicu banjir adalah tingginya tingkat sedimentasi di daerah hilir DAS.
Pengelolaan DAS harus terpadu yakni lintas sektoral dan multidisipliner, karena ekosistem yang terdapat di DAS beranekaragam antara lain sumberdaya hutan, sumberdaya lahan, sumberdaya air dan sumberdaya manusia (Sudaryono, 2002). Hal tersebut mengindikasikan bahwa antar sumberdaya saling kait-mengkait, dan perlu upaya pengelolaan secara bersama-sama. Pengelolaan DAS menurut Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2012 tentang Pengelolaan DAS dilaksanakan secara terkoordinasi oleh instansi terkait pada lintas wilayah administrasi serta peran serta masyarakat.
Rehabilitasi hutan dan Lahan (RHL) dapat dipandang sebagai salah satu kegiatan pokok dalam pengelolaan DAS, terutama dalam upaya memperbaiki dan memulihkan kondisi hutan dan lahan, baik dalam fungsi ekologis maupun dalam fungsi sosial ekonomis. Sebagai salah satu kesatuan pengelolaan DAS, implementasi RHL perlu memperhatikan pola perencanaan DAS yang bertitik tolak pada unit terkecil pengelolaan DAS yaitu daerah tangkapan air. Demikian pula, penilaian kinerja dan tingkat keberhasilan kegiatan pembuatan tanaman RHL, yang dapat diidentikkan dengan pelaksanaan monitoring serta evaluasi tidak terlepas dari prinsip kesatuan pengelolaan DAS. Pelaksanaan monitoring dan evaluasi dalam konteks RHL merupakan salah satu aspek penting manajemen yang perlu dilaksanakan secara konsisten guna tercipta peningkatan capaian keberhasilan pelaksanaan RHL itu sendiri, yang dapat mendukung pemulihan kondisi hutan dan lahan pada DAS.
Dari uraian diatas, pengelolaan DAS Garang yang dilaksanakan oleh berbagai instansi secara terpadu dan terorganisir, dapat dinilai sudah memenuhi standar pengelolaan DAS yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2012 tentang Pengelolaan DAS. Dengan kata lain, tingkat keberhasilan yang dicapai oleh instansi-instansi tersebut sudah cukup tinggi dari berbagai program kegiatan yang sudah direalisasikan dengan baik sesuai prosedur, dan ditambah dengan melibatkan perusahaan-perusahaan industri di daerah setempat. Namun yang masih menjadi pertanyaan besar dibenak penulis adalah kenapa sampai sekarang bencana banjir, tanah longsor, dan pencemaran limbah industri masih cukup tinggi di wilayah DAS tersebut? dan intensitasnyapun semakin bertambahnya tahun, semakin tinggi. Ini merupakan PR besar yang harus segera diselesaikan oleh pemerintah setempat berkolaborasi dengan instansi pengelola DAS Garang, guna meminimalisir risiko yang lebih besar lagi dimasa yang akan datang.
Referensi:
Perubahan penggunaan lahan harus dilakukan secara optimal dengan melakukan perencaaan. Keputusan melakukan pembukaan lahan diawali dengan perhitungan ekonomi untuk memperoleh keuntungan, biasanya faktor dampak lingkungan agak diabaikan. Masyarakat biasanya untuk keperluan tertentu yang mendesak kurang memperhatikan faktor dampak lingkungan, faktor nilai ekonomi lebih diutamakan. Berdasarkan hal tersebut maka dalam melakukan perubahan terhadap alam ini perlu adanya keterpaduan dua kepentingan tersebut, yaitu aspek fisik dan non fisik (Liesnoor, 2009). Atas dasar hal-hal tersebut perlu upaya penanganan DAS secara intensif dan terpadu melalui upaya pengelolaan DAS yang bijak. Karena pada prinsipnya, pengelolaan DAS bertujuan membina kelestarian dan keserasian serta meningkatkan kemanfaatan sumber daya alam pada umumnya dan keadaan tata air khususnya.
Perlunya tindakan konservasi tanah pada daerah yang berada pada kelas 3, 4, dan 5 tingkat bahaya erosi. Dalam hal ini, tindakan konservasi disesuaikan dengan kondisi fisik setempat, sehingga apakah perlu dikonservasi vegetatif, teknik, maupun pembuatan teras. Sehingga dari upaya tersebut diharapkan dapat meminimalisir besarnya tingkat erosi tanah di daerah hulu, dan dapat mengurangi besarnya sedimentasi di daerah hilir DAS. Karena salah satu pemicu banjir adalah tingginya tingkat sedimentasi di daerah hilir DAS.
Pengelolaan DAS harus terpadu yakni lintas sektoral dan multidisipliner, karena ekosistem yang terdapat di DAS beranekaragam antara lain sumberdaya hutan, sumberdaya lahan, sumberdaya air dan sumberdaya manusia (Sudaryono, 2002). Hal tersebut mengindikasikan bahwa antar sumberdaya saling kait-mengkait, dan perlu upaya pengelolaan secara bersama-sama. Pengelolaan DAS menurut Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2012 tentang Pengelolaan DAS dilaksanakan secara terkoordinasi oleh instansi terkait pada lintas wilayah administrasi serta peran serta masyarakat.
Rehabilitasi hutan dan Lahan (RHL) dapat dipandang sebagai salah satu kegiatan pokok dalam pengelolaan DAS, terutama dalam upaya memperbaiki dan memulihkan kondisi hutan dan lahan, baik dalam fungsi ekologis maupun dalam fungsi sosial ekonomis. Sebagai salah satu kesatuan pengelolaan DAS, implementasi RHL perlu memperhatikan pola perencanaan DAS yang bertitik tolak pada unit terkecil pengelolaan DAS yaitu daerah tangkapan air. Demikian pula, penilaian kinerja dan tingkat keberhasilan kegiatan pembuatan tanaman RHL, yang dapat diidentikkan dengan pelaksanaan monitoring serta evaluasi tidak terlepas dari prinsip kesatuan pengelolaan DAS. Pelaksanaan monitoring dan evaluasi dalam konteks RHL merupakan salah satu aspek penting manajemen yang perlu dilaksanakan secara konsisten guna tercipta peningkatan capaian keberhasilan pelaksanaan RHL itu sendiri, yang dapat mendukung pemulihan kondisi hutan dan lahan pada DAS.
Dari uraian diatas, pengelolaan DAS Garang yang dilaksanakan oleh berbagai instansi secara terpadu dan terorganisir, dapat dinilai sudah memenuhi standar pengelolaan DAS yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2012 tentang Pengelolaan DAS. Dengan kata lain, tingkat keberhasilan yang dicapai oleh instansi-instansi tersebut sudah cukup tinggi dari berbagai program kegiatan yang sudah direalisasikan dengan baik sesuai prosedur, dan ditambah dengan melibatkan perusahaan-perusahaan industri di daerah setempat. Namun yang masih menjadi pertanyaan besar dibenak penulis adalah kenapa sampai sekarang bencana banjir, tanah longsor, dan pencemaran limbah industri masih cukup tinggi di wilayah DAS tersebut? dan intensitasnyapun semakin bertambahnya tahun, semakin tinggi. Ini merupakan PR besar yang harus segera diselesaikan oleh pemerintah setempat berkolaborasi dengan instansi pengelola DAS Garang, guna meminimalisir risiko yang lebih besar lagi dimasa yang akan datang.
Referensi:
BPDAS Pemali Jratun, 2007, Gambaran Umum DAS Garang,
Internet, <http://bpdas-pemalijratun.net/>, diakses pada 24
oktober 2012
BPDAS Pemali Jratun, 2009, Kondisi DAS Garang, Internet,
<http://bpdas-pemalijratun.net/>, diakses pada 26 oktober 2012
BPDAS Pemali Jratun, 2010, Identifikasi Permasalahan Banjir DAS Garang, Internet,
<http://bpdas-pemalijratun.net/>, diakses pada 27 oktober 2012
Cahyaningsih A., Gunawan T., Sudibyakto, 2003,
Estimasi Erosi untuk Penentuan Konservasi Tanah di DAS Garang Jawa Tengah
Menggunakan Foto Udara, Teknosains, Jilid 16 No. 2: 271-279
Ginting S., 2009, Kajian Erosi dan
Sedimentasi di DAS Garang, Internet,
<http://segelg.blogspot.com/>, diakses pada 26 oktober 2012
Hariyanto dan Suharini E., 2009, Preferensi
Permukiman dan Antisipasi Penduduk yang Tinggal di Daerah Rawan Longsor di Kota
Semarang, Jurnal Geografi, Vol. 6 No. 2, Juli 2009, Hal. 73-79
Liesnoor D., 2009, Model Penggunaan Lahan Terpadu
pada Daerah Aliran Sungai, Internet,
<http://geografi-lies.blogspot.com/>, diakses pada 25 oktober 2012
Marfai M.A., King L., Sartohadi J., Sudrajat S.,
Budiani S.R., Yulianto F., 2008, The Impact of Tidal Flooding on A Coastal
Community in Semarang, Indonesia, Environmentalist, (2008) 28: 237-248
Marfai M.A., King L.,
Singh L.P., Mardiatno D., Sartohadi J., Hadmoko D.S., Dewi A., 2008, Natural
Hazards in Central Java Province, Indonesia: an Overview, Environ Geol
(2008) 56: 335-351
Marlena B., 2012, Kajian Pengelolaan DAS Garang
untuk Memenuhi Kualitas Air Sesuai dengan Peruntukannya, Tesis, Program
Magister Ilmu Lingkungan, Program Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2012 tentang Pengelolaan
Daerah Aliran Sungai
Seyhan E., 1977, The Watershed as an Hydrologic
Unit, Utrecht: Geografisch Institut der Rijks Universiteit Utrecht
Sudaryono, 2002, Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
(DAS) Terpadu, Konsep Pembangunan Berkelanjutan, Jurnal Teknologi Lingkungan,
Vol. 3 No. 2 Mei 2002 Hal. 153-158
Suharini E. dan Hariyanto, 2008, Kesiapan Penduduk
Pemukim di Daerah Rawan Longsor Kota Semarang, Forum Ilmu Sosial Vol. 35
No. 2 Desember 2008 Hal. 182-189
Suroso, 2005, Pengaruh Perubahan Penggunaan Lahan
terhadap Debit Aliran pada Daerah Aliran Sungai Garang, Tesis, Fakultas
Geografi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
0 komentar:
Post a Comment