Urgensi Pendidikan Moral untuk Remaja
Bukan suatu hal yang baru lagi, tingginya intensitas pengabaran
dimedia massa mengenai aksi brutal anak remaja, telah banyak menarik perhatian sejumlah
pegamat pendidikan di Indonesia dan selalu menjadi bahasan topik utama dalam
kajian psikologi anak. Munculnya aksi tawuran siswa antar sekolah, tingginya
intensitas kejahatan yang tak kunjung reda, aksi seksual yang meraja lela
dengan banyaknya video mesum para remaja di media internet, dan aksi-aksi
lainya dikarenakan siswa tersebut miskin akan akhlak mulia. Kondisi tersebut
diperparah dengan tidak adanya tanggung jawab dan perhatian khusus oleh pihak
sekolah yang mendidik siswa tersebut. Hal tersebut dirasa sangat
memprihatinkan, dimana siswa yang merupakan agent penerus bangsa dimasa yang
akan datang, akhlaq nya belum bisa tertata dengan baik. Dari situlah muncul
suatu rekomendasi mengenai pentingnnya pendidikan moral untuk kaum remaja.
Secara umum, pendidikan moral merupakan pendidikan yang
dimaksudkan untuk mendidik akhlak, perilaku sosial, dan tepo seliro
untuk anak di usia remaja, yang umumnya sudah menginjak sekolah menengah baik
pertama maupun atas. Pendidikan tersebut dirasa penting untuk ditekankan pada
anak usia remaja, karena secara psikologis pada umur tersebut anak mulai
mencari jati diri karena menginjak masa puber pertama. Sehingga seringkali pada
usia remaja, mudah terkontaminasi oleh teman-temanya untuk berbuat kejahatan.
Alasan klasiknya adalah apabila tidak mengikuti teman-temannya yang menjadi trend
saat ini, maka ia akan dianggap sebagai anak jadul, kolot, tidak gaul, dan lain
sebagainya.
Kesalahan dalam memilih teman juga akan berdampak negatif
pada anak usia remaja. Sebagai orang tua yang bijaksana, tidak salah jikalau
memberikan perhatian lebih kepada anaknya ketika berusia remaja, bahkan
alangkah baiknya jika diberlakukan overprotektif, guna menghindari kontaminasi
dari teman-temannya. Akan tetapi terkadang, si anak tidak merasa nyaman dengan
kondisi yang demikian, sehingga alangkah baiknya orang tua harus bersikap tegas
dan penuh tanggung jawab. Peran guru dalam hal ini juga sangat penting, dimana
selain dia mengajar mata pelajaran tertentu, alangkah baiknya juga diselingi
dengan pendidikan moral dan pendidikan berkarakter sejak dini, supaya siswa
dapat termotivasi dan pada akhirnya dapat merealisasikan sikap tersebut.
Pendidikan pancasila dan kewarganegaraan (PPKn) sudah sejak
lama menjadi mata pelajaran di sekolah, baik ditingkat SD, SMP, maupun SMA.
Namun aplikasi dari mata pelajaran tersebut sejauh ini masih belum bisa
dirasakan, hal tersebut karena orientasi mata pelajaran tersebut masih pada
taraf teori dan konsep serta pengembangannya, belum sampai tingkat aplikasi.
Beda hal nya dengan mata pelajaran Aqidah akhlak, yang umumnya ada di MI, MTs,
dan MA, umumnya sudah mulai mengimplementasikan perilaku berakhlaq mulia atas
dasar dari aplikasi Al Kitab dan As Shunah, namun implementasi tersebut belum
bisa sempurna, karena mata pelajaran tersebut masih berorientasi pada taraf
hafalan dan pemahaman saja.
Mata pelajaran yang secara implisit tidak mempunyai hubungan
dengan akhlaq yakni mata pelajaran Bahasa Jawa, ternyata secara eksplisit
memberikan kontribusi yang besar pada perilaku sosial anak dan moralitasnya.
Kalau kita tinjau ulang, mata pelajaran tersebut memberikan pelajaran mengenai
tulisan jawa dan pembacaannya, bahasa krama, dan lain sebagainya. Ada satu
substansi yang dirasa perlu untuk dikaji dan diperdalam, yakni dalam hal ini
adalah aplikasi bahasa krama inggil. Berdasarkan hasil riset, terdapat adanya
korelasi positif antara tingkat kemampuan berbahasa krama inggil dengan tingkat
tata krama siswa. Sehingga bisa diinferensikan bahwa semakin tinggi tingkat
kemampuan siswa dalam berbahasa krama, maka akhlaq nya pun juga akan semakin tinggi
pula, begitu juga sebaliknya, semakin rendah tingkat kemampuan siswa dalam
berbahasa krama, maka akhlaq nya pun juga akan semakin rendah pula.
Kalau kita perhatikan, ketika orang berbicara dengan orang
lain dengan menggunakan bahasa krama inggil, pasti tidak ada perselisihan
diantara mereka, karena bahasa krama berlogat halus dan lemah lembut, seperti
kebanyakan masyarakat Jogja dan Solo pada umumnya. Apabila bahasa krama
diaplikasikan disebuah keluarga, niscaya sangat jarang dan bahkan mungkin tidak
pernah dijumpai adanya pertengkaran didalam rumah tangga tersebut karena semua
anggota keluarga bersikap lemah lembut dan halus ketika berbicara, karena
bahasa krama inggil sangat tidak cocok diterapkan dengan logat yang kasar.
Selain di Jogja dan Solo, pemakaian bahasa krama inggil juga
sudah sejak lama diterapkan dilingkungan pondok pesantren yang berbasis salafi,
khususnya pesantren yang tersebar diseluruh Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur,
baik dikalangan santri dengan santri, santri dengan ustadz, maupun santri
dengan kyai. Sehingga di lingkungan dipesantren bisa dikatakan sangat harmonis,
penuh kasih sayang, dan tepo selironya juga tinggi, dan bahkan sangat jarang
dijumpai adanya tindakan kriminalitas oleh santri. Seandainya bahasa ini dapat
diterapkan dilingkungan sekolah formal baik untuk guru maupun muridnya, niscaya
tidak akan dijumpai lagi adanya kriminalitas dan tindak kejahatan siswa.