RSBI: Wujud Kapitalisme Pendidikan
Photo by Solo Pos |
Pasal tersebut dijadikan payung hukum bagi 1.300 RSBI/SBI di
seluruh negeri. Sayangnya pasal tersebut tidak terlalu kuat sebagai dasar
penyelenggaraan RSBI/SBI. Ini yang memicu publik menggugat pasal tersebut
karena dinilai telah menklasterisasi pendidikan dan mendiskriminasikan sekolah
non RSBI.
Sebenarnya eksistensi RSBI/SBI mempunyai prospek bagus apabila
kita tinjau secara komprehensif, karena guru dan siswa dipaksa membiasakan diri
berbahasa Inggris. Namun apabila kita tinjau ke ranah konstitusi, maka hal itu
tidak sesuai dengan UUD 1945 karena telah menciderai martabat bahasa Indonesia
sebagai wujud nasionalisme.
Dalam praktiknya sejauh ini label RSBI/SBI dijadikan sebagai
ajang kapitalisme pendidikan dengan biaya yang mahal dan tentunya merugikan masyarakat
yang kurang mampu, sehingga mereka merasa terdiskriminasi. Padahal output dari
lulusan RSBI/SBI pun tidak begitu jelas dan tidak begitu menjanjikan
kedepannya, ini yang mengakibatkan label RSBI/SBI kurang berjalan optimal.
Sistem bilingual yang diaplikasikan di kelas hanya sebatas
pengantar saat pembelajaran. Adapun penggunaan teknologi informasi dan
komunikasi belum memenuhi standar. Namun adanya label RSBI/SBI dijadikan
sebagai ajang mengeruk APBN. Hal tersebut mengakibatkan sekolah non RSBI
dijadikan anak tiri oleh pemerintah karena pemerintah lebih memprioritaskan
pendidikan berlabel RSBI.
Evaluasi tentunya perlu dilakukan untuk memperbaiki sistem
yang ada. Label RSBI/SBI tentu sudah tidak relevan lagi dengan adanya putusan
MK, dalam artian sudah tidak bisa diperjuangkan lagi eksistensinya. Hal
tersebut tentunya membuat dilema pemerintah, disatu sisi ingin meningkatkan
mutu dan kualitas pendidikan dengan jalan melabeli sekolah dengan label RSBI/SBI,
namun disisi lain hal itu tidak sesuai dengan UUD tahun 1945.
Menurut hemat saya, RSBI/SBI memang tepat dihapus, untuk
menghindari klasterisasi pendidikan dan kapitalisme pendidikan di negeri ini,
karena saya rasa dengan adanya RSBI/SBI akan menimbulkan kesenjangan sosial
yang cukup signifikan, meskipun disisi lain juga dapat meningkatkan sistem
pendidikan nasional.
Dalam kurikulum baru 2013, pemerintah hendaknya juga
membahas mengenai kompetensi bahasa Inggris dan teknologi informasi dan
komunikasi dalam kurikulum tersebut. Walaupun RSBI/SBI sudah dihapus, bukan
berarti kita langsung meninggalkan kompetensi tersebut. Saya pikir kompetensi
tersebut sangat krusial untuk pendidikan nasional kita. Bagaimana kita akan
maju dan bisa bersaing dengan bangsa asing apabila penguasaan teknologi bangsa
kita rendah? Bagaimana kita bisa berinteraksi dengan bangsa asing bila kita
tidak mempunyai kompetensi bahasa Inggris yang memadai?.