Tingginya Frekuensi Banjir di Daerah Urban


Banjir merupakan natural phenomena dimana terjadi kelebihan air yang tidak tertampung oleh sistem drainase di suatu area yang akibatnya dapat menggenangi permukiman, areal persawahan, dan lain sebagainya (Lundgreen, 1986). Fenomena banjir dipengaruhi beberapa element yaitu oleh natural factor yang berupa intensitas hujan, durasi hujan, litologi batuan, kemiringan lereng dan juga dipengaruhi oleh artificial factor yaitu penggunaan lahan yang kurang tepat seperti permukiman di dataran banjir dan daerah recharge, penggundulan hutan, pembuangan sampah ke dalam drainage system dan lain sebagainya.

Bencana banjir hampir setiap musim penghujan melanda wilayah Indonesia. Berdasarkan lossess value dan frekuensi kejadian banjir mengindikasikan adanya peningkatan yang cukup significant. Banyaknya alih fungsi lahan di Jawa Tengah mengakibatkaan daerah rawan banjir di wilayah tersebut dari tahun ke tahun semakin meningkat. Berdasarkan survei Badan Penanggulangan Bencana Daerah Jawa Tengah pada 2008 kabupaten/kota di Jawa Tengah daerah yang merupakan flood risk area adalah 18 daerah. Tapi semenjak tahun 2010, daerah rawan banjir bertambah menjadi 28 daerah (TempoInteraktif, 2010).
Banjir di daerah urban memiliki karakteristik yang berbeda dengan banjir pada lahan alamiah. Pada kondisi di alam, debit air hujan yang turun sebagian akan ditangkap oleh vegetasi (intersepsi), sebagian akan meresap ke tanah (infiltrasi dan perkolasi) dan sebagian lagi akan membentuk overlandflow sehingga kemungkinan terjadinya banjir sangat minim. Sedangkan di daerah urban pada umumnya air hujan yang jatuh tidak dapat meresap kedalam tanah karena sebagian besar tanah di daerah urban sudah tertutup oleh beton, aspal, dan bangunan sehingga akses air menjadi terhalang, serta artificial drainage yang kapasitasnya terbatas tidak mampu lagi menampung debit air dalam jumlah besar sehingga mengakibatkan overflow di daerah urban.
Bukan merupakan topic yang baru lagi mengenai fenomena banjir yang terdapat di daerah urban, karena hampir setiap musim penghujan daerah tersebut selalu dilanda banjir. Akibatnya menimbulkan problematika yang kompleks seperti aktivitas masyarakat terganggu, akses sistem transportasi terhambat, menimbulkan penyakit yang mana semua jumlah kerugiannya tidak sedikit. Mungkin berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah dalam meminimalisir dan menanggulangi masalah banjir tersebut, akan tetapi hasilnya belum bisa dirasakan oleh masyarakat karena sampai saat ini bencana tersebut masih melanda masyarakat, terutama masyarakat urban, sehingga perlu adanya special attention oleh berbagai pihak yang terkait untuk memecahkan problematika tersebut, karena pada prinsipnya masalah banjir urban dapat diatasi secara bersama-sama dengan eksistensi kerjasama secara synergism antara pemerintah dan masyarakat.
Usulan yang dapat diberikan oleh penulis terkait dengan upaya meminimalisir dan mengendalikan bencana banjir urban adalah sebagai berikut: 1) Pembuatan Recharge Well dan Bio-pori, hal ini dimaksudkan untuk mengurangi efek terhadap bencana banjir. Pembuatan sumur resapan ini dapat dilakukan pada dataran aluvial, dataran koluvial, kipas aluvial, kipas koluvial, tanggul alam dan dataran lembah isian. Pembuatan lubang bio-pori dapat dilakukan pada sepanjang garis sempadan sungai atau pada daerah tampungan air. 2) Penentuan Area for Water Collecting, penentuan ini dapat dilakukan pada lahan-lahan yang karakteristik alamnya merupakan sebuah cekungan yang terbentuk secara alami, seperti dataran banjir, rawa belakang, meander terpenggal, dan dolin di daerah karst/kapur. 3) Reboisation, hal ini dapat dilakukan pada daerah urban sebagai lokasi resapan air. Selain itu karena di daerah urban tidak memiliki hutan maka dapat mengoptimalkan lahan perkebunan sebagai daerah pendukung lingkungan. Untuk daerah pantai sebaiknya dibudidayakan tanaman bakau untuk meminimalkan dampak abrasi ataupun dengan membuat pemecah ombak (Wiweka, 2008).
Referensi:
  1. Lundgren L. 1986. Environmental Geology. PRENTICE-HALL, Engliwood Clifs, New Jersey
  2. Rofiuddin. 2010. Alih Fungsi Lahan Akibatkan Daerah Rawan Banjir di Jawa Tengah Meluas. TempoInteraktif
  3. Wiweka. 2008. Resiko Banjir Kabupaten Gresik Berdasarkan Citra Satelit. Berita Dirgantara Vol. 9 (83-90). LAPAN.

0 komentar:

Post a Comment